CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Senin, 30 Juni 2008

DINAMIKA PROSES PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

PROSES PEMBENTUKAN REPUBLIK INDONESIA
1.1 Prasejarah
Berdasarkan penelitian Geologi, wilayah Indonesia yang saat ini kita tempati diperkirakan muncul pada masa Pleistocene, dimana pada masa tersebut wilayah Indonesia masih terhubung dengan daratan Benua Asia. Dan pada sekitar 500.000 tahun lalu, menurut perkiraan pemukim pertama wilayah tersebut disebut dengan manusia Jawa. Bentuk wilayah kepulauan Indonesia saat ini merupakan hasil bentukan dari lelehan es setelah berakhirnya Zaman Es.
Nenek moyang bangsa Indonesia menurut hasil penelitian merupakan bangsa Austronesia. Bangsa ini pada 2000 SM melakukan perpindahan menuju Indonesia melalui Malaka ke Jawa, serta melalui Filipina menuju sebagian Kalimantan dan Jawa. Pola kehidupan yang berjalan setelah perpindahan ini dikenal dengan sebutan zaman batu muda atau Neolitikum.
Pada 500 SM kembali terjadi gelombang perpindahan ke wilayah Indonesia. Perpindahan ini membawa serta kebudayaan Dongson, yaitu kebudayaan yang telah memakai logam sebagai alat bantu kehidupan.Selain itu masa zaman ini pola hidup sudah bergeser dari nomaden ke menetap. Zaman ini dikenal dengan sebutan zaman perunggu.
1.2Era Kerajaan
1.2.1 Kerajaan Hindu-Buddha
Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, China dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien.
Dua kerajaan besar pada zaman ini adalah Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana. Masuknya Islam pada sekitar abad ke-12 secara perlahan-lahan menandai akhir dari era ini.

1.2.2 Kerajaan Islam
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7
Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.
Islam terus mengokoh menjadi institusi politik. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah.
Kesultanan Islam kemudian semakin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatra. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.
Penyebaran Islam dilakukan/didorong melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan islam yang datang dari luar Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan/kesultanan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kesultanan/Kerajaan penting termasuk Samudra Pasai , Kerajaan Mataram di Yogja / Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur.

1.3 Era kolonial
1.3.1 Kolonisasi VOC
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.

1.3.2 Kolonisasi Pemerintah Belanda
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.
Pada era ini pula nasionalisme kebangsaan Indonesia bangkit, dimulai pada tahun 1908 sejak berdirinya Budi Utomo kemudian dilanjutkan dengan sumpah pemuda tahun 1928. Para tokoh pergerakan seperti Soekarno berulang kali masuk penjara akibat aktivitas politik yang mencita-citakan suatunegara yang bernama Indonesia.

1.4 Pendudukan Jepang
Masa penjajahan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942. Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang.
Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang.
Pada tanggal 1 Juni 1945 ini Soekarno mengenalkan tentang dasar negara yang dinamakan Pancasila. Pancasila sebagai dasar yang dianggap mampu mengikat seluruh elemen bangsa yang majemuk dan menjadi satu kesatuan.
Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus. Puncak dari masa ini adalah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta.

2. PROSES PERKEMBANGAN REPUBLIK INDONESIA
2.1 Perang kemerdekaan
Dari 1945 hingga 1949, Indonesia menghadapi upaya perebutan kembali wilayah Indonesia oleh Belanda. Masa ini merupakan masa perang kemerdekaan. Selain menghadapi Belanda dan sekutu, Indonesia juga menghadapi pemberontakan dari PKI pada tahun 1948. Periode ini merupakan masa yang panjang dan melelahkan bagi para pejuang. Sementara itu elit politik sibuk dengan kepentingan politik masing. Pada 27 Desember 1949, setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, melalui konferensi meja bundar, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia resmi menjadi anggota ke-60 PBB.

2.2 Kurun Waktu 1950 – 1965
Pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh dunia internasional masih belum luput dari berbagai cobaan maupun rongrongan yang bersumber dari unsurr-unsur destruktif, baik didalam mahupun dari luar negeri, seperti yang tercatat dalam rangkaian sejarah berikut:
2.2.1 Angkatan Perang Ratu Adil
Gerakan teror Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung, Jawa Barat, dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling yang menolak pembubaran Negara Pasundan, walaupun menggunakan APRA sebagai mitos untuk mempengaruhi opini masyarakat Jawa Barat, namun karena tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyat, maka gebrakan operasi militernya hanya berlangsung beberapa hari dan pada akhirnya dengan mudah dapat ditumpas oleh aparat keamanan Negara Indonesia.
2.2.2 Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakkan Andi Azis, salah seorang komandan bekas satuan tentara Belanda yang meletus pada tanggal 5 April 1950 di Makasar, Ujung Pandang dengan motivasi yang menuntut status dan perlakuan khusus dari pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Antara pihak pemberontak dengan utusan pihak pemerintah dari Jakarta, semula diusahakan pemecahan masalah melalui perundingan yang kemudian disusul dengan ultimatum, sehingga pada akhirnya harus diambil tindakan militer. Pada tanggal 20 Agustus 1950, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dapat menguasai seluruh kota Makasar atau Ujung Pandang.
2.2.3 Gerakan Republik Maluku Selatan
Gerakan Republik Maluku Selatan yang dipimpin oleh MR. Dr. Robert Steven Soumokil, yang bertujuan ingin mendirikan Negara Republik Maluku Selatan yang terpisah dari Negara Indonesia Serikat. Gerakan RMS mulai bergolak hampir bersamaan dengan pemberontakan Andi Azis di Makasar, Ujung Pandang. Kota Ambon dapat dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat pada tanggal 3 November 1950.
2.2.4 Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diproklamasikan oleh Letnan Kolonel Achmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan pada tanggal 15 Februari 1958 di Sumatera Barat dan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual yang semula menjabat KSAD PRRI/Permesta.
Penumpasan PRRI di Sumatera dilakukan dengan operasi gabungan yang terdiri dari unsur-unsur kekuatan Tentara Angkatan Darat, Laut dan Udara dari dua jurusan, melalui pendaratan di Padang dan penerjunan pasukan para komando di Pekanbaru dan Tabing. Pada tanggal 29 May 1961, Achmad Husei bersama pasukannya secara resmi melaporkan diri kepada Brigadir Jendral GPH Djatikusumo, Deputi Wilayah Sumatera Barat. Disamping itu, perpecahan yang terjadi diantara para pimpinan Permesta telah melemahkan kekuatan militer Permesta, sehingga pada akhirnya pada tanggal 4 April 1961 antara Somba dari pihak Permesta dan Pangdam XIII Merdeka Kolonel Sunandar Priyosudarmo dilangsungkan penandatanganan naskah penyelesaian Permesta.

2.3 Demokrasi parlementer
Pada era 1949-1955, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai. Dalam penyusunan dasar negara Indonesia, yakni Pancasila, sempat mengalami ketegangan, yakni adanya keinginan dari kelompok muslim seperti Kartosuwiryo, yang menginginkan kewajiban menerapkan syariat Islam bagi pemeluknya dimasukkan ke dalam salah satu sila dari Pancasila. Namun, hal ini ternyata tidak disetujui oleh para founding fathers, terutama Soekarno. Akhirnya disepakati bahwa ”kewajiban melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya” tidak dimasukkan ke dalam Pancasila. Hal ini menimbulkan kekecewaan dari kelompok yang mengusung syariat Islam tersebut, sehingga kemudian muncul berbagai pemberontakan yang dipimpin oleh kelompok Marijan Kartosuwiryo, yang bertujuan untuk menegakkan negara Islam Indonesia (NII).

2.4 Demokrasi Terpimpin
Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan "Kembali ke UUD' 45". Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.

2.5 Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah "rencana neo-kolonial" untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetab Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).

2.6 Era Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru. Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
Pada awal Era Reformasi terjadi konflik komunal di beberapa daerah di Indonesia antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran. Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia. Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

2.7 Era reformasi
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
2.7.1 Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendaptkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
2.7.2 Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
2.7.3 Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
2.7.4 Pemerintahan Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Hal penting dalam sejarah demokrasi Indonesia terjadi pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.

KETAHANAN NASIONAL

Setiap negara pasti mempunyai cita-cita luhur yang harus dicapai. Cita-cita tersebut pada umumnya disebut tujuan nasional. Di dalam usahanya untuk mencapai tujuan nasional tersebut setiap bangsa akan selalu dihadapkan dengan ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan) yang harus ditanggulangi. Oleh karena itu untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan tersebut kita harus memiliki ketahanan nasional.
Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamik suatu bangsa yang berisikan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasionalnya di dalam menghadapi segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik dari dalam ataupun dari luar baik langsung ataupun tidak langsung yang membahayakan integrasi, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangannya.
Negara Indonesia merupakan sebuah negara dengan potensi yang sangat besar. Jika kita lihat dari luas wilayahnya, maka bangsa Indonesia merupakan Negara terbesar kelima di dunia. Bangsa Injdonesia memiliki sumber daya alam yang sangat banyak sekali baik di wilayah daratan maupaun di lautan. Bangsa kita sangat kaya akan bahan mineral, pertambangan, dan kekayaan abiotik maupun biotik lainnya seperti ikan dan keindahan panorama dalam lautan.
Bangsa Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan. Dari ribuan pulau yang dimiliki oleh bangsa kita, baru beberapa persen saja yang telah terdata dengan baik. Bangsa Indonesia memiliki sekitar delapan belasan ribu pulau dan hanya enam ribu di antaranya yang telah diberi nama.
Masih belum lekang dari ingatan kita lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan yang akhirnya menjadi menjadi milik Pemerintah Malaysia dan kasus perbatasan di kawasan Ambalat, sebuah kawasan kaya minyak yang terletak di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia yang lagi-lagi diklaim oleh Pemerintah Malaysia sebagai milik mereka. Dan hingga saat ini kasus ini masih belum menemukan jalan keluar yang baik bagi bangsa kita.
Kurangnya pendataan terhadap pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan Indonesia telah memunculkan berbagai kasus yang mengancam kedaulatan bangsa kita. Oleh karena itu sangatlah diperlukan pendataan ulang untuk menginventarisir sesungguhnya jumlah pulau yang ada di Indonesia. Bangsa kita harus segera mengeluarkan data-data resmi tentang pulau-pulau yang dimiliki sebagai bukti kepemilikan negara atau arsip negara. Hal ini dikarenakan pulau-pulau yang telah didepositkan akan menjadi salah satu acuan atau landasan Indonesia dalam menyelesaikan setiap persengketaan perbatasan dengan negara lain.
Perlu diketahui bahwa pada saat ini tedapat dua belas pulau terluar yang rawan menimbulkan persengketaan dengan negara tetangga. Saat ini terdapat 92 pulau terluar di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain. Dari 92 pulau tersebut 67 pulau, di antaranya adalah 28 pulau berpenduduk dan 39 pulau yang belum berpenduduk. Dua belas pulau rawan sengketa perbatasan tersebut antara lain :
1. Pulau Rondo Kelurahan Ujung Ba’u, Kecamatan Sukakarya, Kabupaten Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam (di peta pulau nomor 84). Pulau Rondo terletak di ujung utara Pulau Weh, merupakan pulau terluar strategis di ujung barat Indonesia yang menjadi jalur pelayaran internasional, berbatasan dengan India, tidak dihuni tetap dan hanya dihuni oleh petugas jaga mercusuar. Kekayaan alam berupa perikanan dan terumbu karang, rawan pencurian ikan (Ilegal Fishing).
2. Pulau Sekatung, Desa Air Payang, Kelurahan Pulau Laut, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Riau (di peta pulau nomor 10).
Terletak di utara Kepulauan Natuna, masuk Provinsi Kepulauan Riau yang berbatasan langsung dengan Vietnam, termasuk gugusan Pulau Natuna selain Pulau Sedanau, Bunguran, dan Midai, luasnya sekitar 0,3 kilometer persegi. Tidak berpenghuni, sering digunakan sebagai persinggahan nelayan lokal dan asing, potensi berupa perikanan dan terumbu karang, rawan illegal fishing.
3. Pulau Nipa, Desa Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Riau (di peta pulau nomor 89). Pulau kecil tak berpenghuni yang berbatasan dengan Singapura, 80 persen merupakan batuan karang mati dan 20 persen batuan berpasir. Luas dataran lonjong ini sekitar 60 hektar, di sekitar pulau ini dijadikan penambangan pasir. Akibatnya, terjadi abrasi yang mengancam tenggelamnya pulau di tengah pelayaran lalu lintas internasional yang frekuensinya tinggi.
4. Pulau Berhala, Kecamatan Tanjungbintang, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara (di peta pulau nomor 85). Berada di Selat Malaka yang berbatasan dengan Malaysia, tak berpenghuni, luas sekitar 2,5 kilometer persegi dan dikelilingi hamparan terumbu karang. Memiliki kekayaan alam berupa keindahan terumbu karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati tinggi, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
5. Pulau Marore, Kecamatan Tabukan, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara (di peta pulau nomor 26). Salah satu pulau kecil di Laut Sulawesi dan berbatasan dengan Filipina. Berada di kepulauan berpenduduk sekitar 640 jiwa, luas sekitar 214,49 ha, termasuk gugusan Pulau Kawio, merupakan wilayah khusus di perbatasan Filipina yang disebut check point border crossing area, rawan illegal fishing.
6. Pulau Miangas, Desa Miangas, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara (di peta pulau nomor 28). Salah satu gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan Filipina, luas sekitar 3,15 kilometer persegi. Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Ada penduduknya yang mayoritas Suku Talaud, perkawinan dengan warga Filipina tidak bisa dihindarkan lagi. Dilaporkan mata uang yang mereka gunakan adalah peso, jumlah penduduk tahun 2003 sebanyak 678 jiwa, sudah ada listrik dari PLTD 10 KVA. Belanda menguasai pulau ini sejak tahun 1677, sejauh ini Filipina yang sejak tahun 1891 memasukkan Miangas dalam wilayahnya sudah menerima Pulau Miangas sebagai wilayah Indonesia berdasarkan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional. Rawan terorisme dan penyelundupan.
7. Pulau Marampit, Kecamatan Pulau Karatung, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara (di peta pulau nomor 29). Salah satu pulau di Laut Sulawesi yang berbatasan dengan Filipina, berpenghuni dengan jumlah penduduk sekitar 1.436 jiwa, luas pulau 12 kilometer persegi, pulau terluar yang dibatasi Samudra Pasifik di sebelah utara dan timur. Sarana navigasi pelayaran dan dermaga hingga kini belum terpasang, rawan abrasi karena berhadapan dengan laut lepas, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
8. Pulau Batek, Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (di peta pulau nomor 61). Merupakan pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, berada di perbatasan antara wilayah Kabupaten Kupang, NTT, dan Oekusi, Timor Leste, luas sekitar 25 ha. Menjadi tempat bertelur penyu-penyu serta lokasi migrasi lumba-lumba. Untuk mencapainya cukup mudah karena perairan di sebelah utaranya merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) jalur 3 yang menjadi jalur pelayaran internasional, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
9. Pulau Dana, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (di peta pulau nomor 62). Terletak di sebelah selatan Pulau Rote yang merupakan pulau terluar berbatasan dengan Australia. Letaknya strategis karena menjadi pintu masuk jalur pelayaran internasional (ALKI jalur 3), tidak berpenghuni, jarak dengan Kota Kupang 120 kilometer dan dengan Pulau Rote 4 kilometer. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan perahu motor, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
10. Pulau Fani, Kecamatan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua (di peta pulau nomor 34). Pulau terluar yang berbatasan dengan Republik Palau, termasuk gugusan Pulau-pulau Asia. Ada penghuninya, luas wilayah sekitar sembilan kilometer persegi. Jarak ke Kota Sorong 220 kilometer dan dapat dicapai dengan kapal motor selama 35 jam. Penduduknya lebih sering berinteraksi dengan negara tetangga, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
11. Pulau Fanildo, Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Papua (di peta pulau nomor 36). Salah satu gugusan Pulau Mapia, pulau tak berpenghuni yang berbatasan dengan Republik Palau, luas sekitar 0,1 kilometer persegi yang sekelilingnya merupakan pantai berpasir dan hamparan terumbu karang. Jarak dengan ibu kota Biak Numfor 280 kilometer. Untuk mencapai pulau ini bisa dengan menggunakan pesawat udara dan kapal laut rute Jakarta-Biak-Mapia, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
12. Pulau Bras, Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua (di peta pulau nomor 37). Terletak di ujung utara Pulau-pulau Mapia, berbatasan dengan Republik Palau, luasnya 3,375 kilometer persegi, jarak Pulau Bras dengan Kabupaten Biak Numfor 280 kilometer dan dengan Pulau Supiori 240 kilometer yang dapat dicapai dengan perahu motor. Dihuni sekitar 50 jiwa penduduk, potensial untuk wisata terumbu karang, mata pencaharian nelayan dan membuat kopra, rawan abrasi dan rawan illegal fishing serta effective occupation dari negara tetangga.
Itulah kedua belas pulau-pulau terluar Indonesia yang sangat berpotensi memunculkan sengketa-sengketa perbatasan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Oleh karena itu bangsa Indonesia harus segera bertindak cepat dan tepat untuk menanggulangi ancaman-ancaman yang timbul di perbatasan untuk menjaga kedaulatannya.

Tanggapan
Setiap negara pasti akan dihadapkan pada adanya ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan di dalam mencapai tujuan nasionalnya. Seperti yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini di mana muncul beberapa sengketa perbatasan dengan negara-negara tetangga. Di sinilah kita wajib meningkatkan ketahanan nasional kita dalam upaya mempertahankan kedaulatan bangsa kita.
Komitmen pemerintah saat ini dihadapkan pada kasus-kasus di wilayah perbatasan dan masih banyaknya pulau-pulau yang belum jelas kedudukannya. Indonesia patut waspada terhadap keadaan di pulau-pulau terluar wilayah Indonesia terutama yang berbatasan langsung dengan negara tetangga.
Perairan Indonesia sangat kaya dengan berbagai potensi laut. Pulau-pulau yang belum memiliki nama dan tidak diamankan, dimanfaatkan serta diduduki secara defacto, akan menimbulkan sengketa dengan negara lain. Dan jika pulau-pulau tersebut diambil oleh negara lain akan sangat sulit bagi negara kita untuk mengambil alih kembali.
Saat ini bangsa Indonesia mempunyai permasalahan perbatasan dengan sepuluh negara tetangga. Pemerintah Indonesia harus segera menetapkan ketegasan batas wilayah RI. Kelemahan dari pemerintah Indonesia adalah belum menyadari pentingnya menetapkan landasan hukum yang jelas mengenai batas wilayah maritim Indonesia. Padahal sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia berhak menentukan wilayah lautnya seperti yang tertera pada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982.
Kondisi lain yang perlu segera diatasi adalah kurangnya perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan di pulau-pulau terluar tersebut. Pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan sangat belum maksimal sehingga banyak sekali pulau-pulau terluar kita yang terus-menerus diklaim oleh negara lain. Pemberdayaan pulau-pulau tersebut dapat kita lakukan dengan mengembangkan berbagai potensi yang ada di dalamnya.
Lepasnya pulau Sipadan-Ligitan yang saat ini telah menjadi milik Malaysia memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia belum mampu mengelola dengan baik pulau-pulau kecil yang terletak pada wilayah terluar Indonesia. Kita tidak boleh mengulangi lagi keteledoran bangsa kita yang telah menyebabkan lepasnya beberapa pulau kecil dari genggaman negara kita. Pembangunan pulau-pulau kecil akan semakin meningkatkan ketahanan nasional bangsa kita dan akan sangat memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan pulau-pulau tersebut di dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akhirnya dapat kita simpulkan betapa pentingnya ketahanan nasional bagi bangsa Indonesia untuk mengatasi berbagai macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang senantiasa dihadapi dalam rangka mencapai tujuan nasional dan mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia.

Arkeologi Konflik Sosial di Indonesia

KEHIDUPAN bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.
Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik. Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal.

Perlakuan negara yang demikian itu kemudian diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam kesadaran sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bias state itu mengarahkan sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal yang bersifat diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi.
Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan mereka terhadap pluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan negara atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan pada gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam pikirnya diyakini "berbeda". Dari sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh legitimasi rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat.
Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bias state masyarakat semakin menonjol dalam pelbagai pola perilaku sosial dan politik. Munculnya reformasi telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu.
JADI, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar aspek struktural dan kultural yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan dislearn atas wacana dan konstruksi pemikiran masyarakat. Di sini kita sebenarnya berada dalam area dominasi dan hegemoni negara seperti yang dibeberkan oleh Karl Marx dan Antonio Gramsci.
Repotnya, apa yang terjadi di Indonesia adalah reformasi, dan bukan revolusi sosial. Gerakan reformasi, karena sifatnya yang moderat, cenderung berkompromi dengan anasir-anasir lama yang pro-status quo. Ini yang disebut Samuel P Huntington sebagai konsekuensi reformasi. Sementara revolusi, karena sifatnya yang radikal, bersikap tegas dalam menghadapi rezim kekuasaan yang lama dan anasir-anasir pro-status quo. Revolusi Bolshevik 1917 di bekas negara Uni Soviet merupakan contoh dari ketegasan sikap para pemimpin gerakan revolusi terhadap anasir kekuatan lama.
Dalam era pandang revolusioner, struktur kekuasaan harus dibalik sedemikian rupa sehingga diujudkan struktur kekuasaan yang benar-benar baru. Itulah mengapa kita rasakan perjalanan reformasi bangsa ini terasa menggemaskan karena lambatnya. Seringkali kita memang tidak begitu sabar untuk menjadi seorang demokrat, namun untuk menjadi seorang revolusioner sejati kita pun acap tidak punya nyali.
Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi menuntut segenap elemen dalam masyarakat untuk mereposisi gerakannya agar lebih kondusif bagi akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan wacana dan metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru. Gerakan sosial apa pun dalam masyarakat harus mulai menyediakan alternatif-alternatif yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan.
Mengapa demikian? Karena kekuasaan negara hari ini, meskipun struktur dan sistemnya masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai berlangsung dinamika yang lebih baik ke arah demokratisasi. Namun demikian ada dua soal yang harus secara terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan konsistensi pemerintah baru untuk melaksanakan agenda reformasi. Kedua, kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda reformasi.
Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan. Inilah momentum yang tepat bagi segenap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil (stable democracy).
( * Muh Hanif Dhakiri, peneliti )