CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Kamis, 15 Mei 2008

Dilema ”Hot Money”, akankah terulang kembali krisis 1997??

Saat ini Perekonomian Indonesia mengalami perubahan kearah yang lebih baik. Indikator makroekonomi hingga kuartal I/ 2007 menunjukkan ekspor dan impor masing-masing naik 14,8% dan 11,4%. Harga konsumen stabil sehingga inflasi dan nilai tukar rupiah terkendali. Bahkan rupiah di bawah 9.000 per dolar AS disertai indeks harga saham gabungan (IHSG) yang masih bertahan di atas angka 2.000. Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi kuartal I hampir menyentuh 6%. Makroekonomi yang cukup kuat dan makin membaiknya kondisi keamanan dalam negeri Indonesia diperkirakan memberikan keuntungan yang cukup besar sehingga terjadi aliran dana masuk yang cukup tinggi. Data terakhir menunjukkan dana asing yang masuk SBI sebesar US$1,36 miliar, SUN US$847 juta, pasar saham US$623 juta.

Satu hal yang merupakan kekhawatiran adalah aliran dana asing yang bersifat portofolio tersebut ditengarai merupakan uang panas atau yang lazim disebut hot money. Dana jenis ini hanya berani masuk ke sektor finansial dan belum berani langsung masuk dalam investasi riil. Oleh karena itu, wajar bila masuknya investasi ke sektor finansial membawa kekhawatiran sebab uang jenis itu bisa pergi kapan saja. Uang panas selalu berburu keuntungan jangka pendek, di mana saja, kapan saja dan lewat instrumen apa saja: termasuk saham, surat-surat utang jangka pendek, hingga valuta asing. Investor jenis itu tak peduli, apakah akan membuat perekonomian suatu negara baik atau buruk, mengilap atau terpuruk. Ideologi modalnya adalah untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya, rugi sekecil-kecilnya. Sehingga kerap disebut modal spekulatif.

Dalam perkembangannya, pemodal dari AS dan Eropa menganggap investasi pasar saham di negara berkembang, seperti di Indonesia menjadi satu investasi eksotik dan menantang dengan peluang keuntungan lebih tinggi. Pasar saham di negara ber-kembang dinilai menjanjikan potensi dan peluang keuntungan lebih tinggi, selain dijadikan keranjang diversifikasi investasi bagi pemodal asing. Pada 1990-an, hampir semua perusahaan sekuritas dan perusahaan investasi AS memberikan porsi sepertiga dari total dana kelola untuk diinvestasikan ke pasar saham negara berkembang. Akhirnya, pasar modal menjadi aset investasi penting baik bagi pemodal dalam negeri maupun pemodal asing. Perkembangan terakhir menunjukkan pasar modal di negara berkembang menjadi tempat favorit bagi pemodal asing. Kemungkinan untuk terulang kembali krisis moneter di indonesia, bukan menjadi momok yang menakutkan. Pasalnya pada kawasan Asia tenggara, termasuk Indonesia, kini telah mengakumulasi cadangan devisa cukup kuat sehingga jauh dari defisit transaksi berjalan. Selain itu, bank sentral di Asia kini telah memiliki sistem perbankan yang lebih hati-hati. Pandangan optimistis untuk Indonesia layak, jika dilihat dari kondisi ekonomi makro yang menunjukkan perbaikan pada kuartal I tahun ini. Apalagi ditambah perhimpunan dana bersama negara-negara Asean, Korea Selatan, China dan Jepang. Selain itu, masih terdapat perjanjian pertukaran bilateral yang mencapai US$80 miliar.

Indonesia membuat komitmen baru senilai US$1,6 miliar guna mengatasi kemungkinan krisis neraca pembayaran. Sementara itu, pada akhir bulan lalu, cadangan devisa yang tersimpan di Bank Indonesia mencapai US$49,3 miliar. Kekuatan cadangan devisa itu akan membangun ekspektasi positif dan keyakinan terhadap kemampuan BI mengendalikan nilai tukar jika terjadi pembalikan arus hot money.

Selain itu, jika uang panas itu berpindah dari indonesia, kepergiannya pada tahun 1997 dan sekarang memiliki alasan berbeda. Pada 1997-1998, pelarian modal terjadi bersamaan antara uang domestik dan hot money. Bahkan uang pengusaha asli mungkin lebih banyak yang dibawa pergi. Masyarakat kehilangan kepercayaan, sehingga terjadi penarikan uang secara besar-besaran dari bank, sementara bank dalam kondisi buruk akibat kekurangan likuiditas tersedot oleh pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Intinya terjadi kepanikan dan ketidakpercayaan kepada rupiah sehingga nilai tukar melambung. Sebaliknya saat ini, jika terjadi pelarian modal, akan berimplikasi terhadap hot money, tetapi begitu harga-harga instrumen investasi portofolio kembali rendah, hot money akan kembali lagi. Selain itu, kini cadangan devisa cukup kuat menahan gejolak dan menahan nilai tukar.

Jaring pengaman juga telah dipersiapkan oleh lembaga penjaminan serta sistem pengaman bersama antara BI dan Departemen Keuangan. Perbankan juga semakin kuat dengan adanya persyaratan modal cukup ketat serta pengawasan ketat terhadap kredit apalagi terjadi kelebihan likuiditas di luar negeri. Sementara itu, investor masih memperhitungkan keuntungan dari investasi portofolio di Indonesia. Suku bunga masih relatif tinggi, baik BI Rate, SBI, maupun bunga surat utang swasta dan pemerintah. Harga saham juga masih relatif rendah dan likuid. Memang tidak ada hubungan simetris antara investasi portofolio dan sektor riil seperti dikhawatirkan banyak pihak. Karenanya wajar jika kenaikan IHSG dan penguatan rupiah ditanggapi dingin, karena kekhawatiran adanya transaksi semu dari ulah hot money.

Masuknya hot money memang harus diperhatikan, tetapi tidak perlu ditanggapi dengan reaksi berlebihan agar tidak muncul kepanikan atau ekspektasi negatif. Justru lebih penting bagaimana mempertahankan hot money supaya lebih betah di Indonesia. Kalau investasi portofolio menarik dan memberikan keuntungan tinggi dan stabil, hot money akan tinggal dalam jangka lebih panjang. Krisis, yang disebabkan oleh hot money, hanyalah sebuah ekspektasi. Jika ada ekspektasi dan sentimen, bisa jadi prediksi itu akan menjadi kenyataan. Yang bisa dilakukan hanyalah mengurangi potensi kerugian dan kuncinya tidak bisa lain bagaimana membuat “uang panas” itu berubah menjadi investasi. kuncinya tidak lain adalah iklim investasi. Perusahaan yang terdaftar di lantai bursa harus memperkokoh usahanya agar kinerjanya semakin baik. Sepanjang kinerjanya bisa lebih mantap, para pemilik modal akan semakin percaya terhadap saham yang dimilikinya. Untuk membuat perusahaan mau melakukan itu, yang dibutuhkan adalah peraturan yang membebani kegiatan usaha. Selama ini investasi di sektor riil tidak bisa berjalan mulus karena banyak kendala. Mulai dari keterbatasan infrastruktur, aturan perburuhan yang terlalu kaku, sistem perpajakan yang tidak bersaing, serta arus keluar-masuk barang yang menghambat. Hal ini akan mencegah kerugian adanya hot money, melainkan menjadikan hot money sebagai investasi yang menguntungkan indonesia. Sehingga ancaman dan ekpektasi terulang kembali krisis akibat hot money, tidak akan terealisasi……

anitha

Tidak ada komentar: